Warga dari Tiga Desa Keluhkan Kerusakan Jalan
BANTARUJEG
-Warga dari tiga desa yakni Cimanggu Hilir, Silihwangi dan Sariwangi Kecamatan Bantarujeg mengeluhkan rusaknya jalan Talaga-Bantarujeg. Kerusakan ini disebabkan tingginya arus truk pengangkut batu dari lokasi galian C yang ada di wilayah tersebut.
Pimpinan Ponpes Mansyaut Tholibin Desa Cimanggu Hilir, Ustad Dudung menuturkan, kerusakan jalan di wilayahnya sudah berlangsung lama. Meski sudah berkali kali dilaporkan kepada pemerintah dan pengusaha, namun belum terlihat tanda-tanda jalan itu bakal segera diperbaiki. Padahal ruas jalan itu menjadi sarana vital bagi warga di tiga desa.
“Kami sampai bosan menyampaikan permintaan agar jalan itu segera diperbaiki. Bagaiamana tidak cepat rusak jika jalan itu dilalui puluhan truk pengangkut batu setiap harinya. Kami hanya minta agar pengusaha dan pemerintah segera memperbaikinya,” tegas Ustad Dudung.
Memang, kata dia, pengusaha telah memberikan uang kompensasi yang besarnya Rp 10 ribu/ truk. Setiap harinya sedikitnya 50 hingga 70 truk pengangkut keluar masuk ke wilayah desanya. Sehingga jika dihitung hitung, nilai kompensasi yang diberikan pengusaha cukup untuk perbaikan dan perawatan jalan. Namun pada kenyataanya, selain uang kompensasi tidak jelas, kerusakan jalan semakin parah.
“Kami meminta agar pihak pengusaha atau pemerintah segera melakukan perbaikan jalan. Akibat kondisi jalan yang buruk, setiap harinya terjadi dua hingga tiga kecelakaan lalu lintas,” katanya kepada Radar diamini Imam, warga lainnya, kemarin (2/5).
Sementara Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen Majalengka (YLBKM) Dedi Barnadi menyatakan, seharusnya pemerintah segera bertindak dengan melakukan upaya perbaikan untuk meminimalisir kerusakan. Sebab, para pengguna jalan sudah membayar pajak. Sebagai imbalannya, pemerintah wajib memberikan pelayanan yang maksimal termasuk masalah kenyamanan infrastruktur jalan.
“Dengan kasus itu sebenarnya masyarakat bisa melakukan gugatan class action kepada pemerintah daerah, yang dinilai telah merugikan para konsumen. Sekali lagi, pemerintah harus memikirkan bagaiaman memperbaiki jalan secepatnya, jangan menunggu sampai semuanya rusak,” tegas Dedi. (radar cirebon)

MAJALENGKA-Pernyataan Bupati Majalengka Hj Tutty Hayati Anwar SH MSi yang menolak dibentuknya Provinsi Pantura Cirebon dan sempat dikritik sejumlah kalangan- mendapatkan dukungan dari kalangan tokoh Kota Angin. Para tokoh pengusaha, organisasi kepemudaan dan LSM di Kabupaten Majalengka kompak membela orang nomor satu di Kabupaten Majalengka tersebut.
Ketua Majelis Pertimbangan Cabang Pemuda Pancasila (MPC PP) Kabupaten Majalengka H Nazar Hidayat menyatakan, keluarga besar Pemuda Pancasila, Apdesi, Abpedsi, KNPI dan masyarakat jasa kontruksi Kabupaten Majalengka mendukung pernyataan dan sikap politik Bupati Tutty yang menolak pembentukan Provinsi Cirebon.
Dikatakan Abah Encang, panggilan akrab Ketua Gapensi ini, munculnya wacana pembentukan provinsi agar disikapi dengan arif dan bijaksana, jangan hanya karena luapan emosi sesaat. Bila itu terjadi, sambung dia, maka bangunan persatuan dan kesatuan serta keserasian yang telah dibangun bertahun-tahun menjadi hancur. Ditambahkan pria yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Bupati Tutty ini, ungkapan beberapa tokoh pantura mengenai penganaktirian wilayah Cirebon oleh para elit di Jawa Barat secara jujur ada benarnya. Kalau itu dilihat dari parameter kuantitas personil yang memegang tampuk jabatan di gedung sate. “Dan kita harus bertekad agar dalam penempatan personil di Jabar nanti dapat benar-benar sesuai dengan kapabilitasnya, serta menghindari adanya pemilahan antara priangan dan Pantura Cirebon,” tandas H Nazar kepada Radar, kemarin.
Dituturkan dia, untuk menjadikan masyarakat lebih sejahtera bukan dengan pemisahan dari Jawa Barat dan membentuk provinsi baru. Sebab untuk membentuk suatu daerah otonom harus melalui kajian yang mendalam, terutama sumber daya yang dimiliki daerah bersangkutan. Bukan hanya dilihat dari semangat para elit politik dan tokoh-tokoh semata. Banyak daerah otonom baru yang justru lamban untuk membangun daerahnya. ‘Sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera akhirnya jauh panggang dari api,” tuturnya.
Senada, Ketua DPD KNPI Kabupaten Majalengka H Budi Victoriyadi SE menegaskan, pihaknya mendukung pernyataan Bupati Hj Tutty yang yang keberatan dengan dibentuknya Provinsi Pantura Cirebon. “Apa yang disampaikan oleh Ibu Tutty merupakan aspirasi dari masyarakat di Kabupaten Majalengka. Kalau Indramayu dan Kabupaten Cirebon mau membentuk provinsi ya silahkan saja. Tapi seharusnya masyarakat Majalengka juga diajak dulu bicara,” kata H Budi kepada Radar, kemarin.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Kabupaten Majalengka ini menyayangkan dengan munculnya kembali wacana pembentukan Provinsi Pantura Cirebon, menjelang digelarnya Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar. Dia menduga, munculnya wacana ini lantaran tidak diakomodirnya kepentingan elit-elit politik tertentu.
Menurut Budi, sebelumnya wacana itu sudah muncul lama dan kini muncul lagi, akibat adanya kekecewaan elit politik. Sebelum membentuk provinsi baru, kata dia, mestinya dilihat dulu sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki secara obyektif. Pembentukan Provinsi Pantura juga harus ditempuh melalui mekanisme dan tidak mungkin masyarakat Majalengka akan menerima kalau namanya Provinsi Pantura. “Kita tidak memiliki laut,jadi tidak mungkin kalaupun membentuk provinsi baru namanya Provinsi Pantura. Selama ini Kaukus Pantura juga tidak mengajak bicara warga Majalengka,” tutur H Budi kepada Radar dikantornya, kemarin (21/1).
Senada, Ketua Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPPP) Wawan Ramoz Wijaya menyatakan ketidaksetujuannya dengan wacana pembentukan provinsi baru di wilayah III Cirebon. Apalagi, kata Wawan, munculnya isu itu karena kekecewaan dari proses Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar. Dituturkan Wawan yang juga pengurus GM FKPPI ini, dibutuhkan waktu dan proses yang panjang guna membentuk provinsi. Bahkan dia khawatir nanti akan terjadi seperti Provinsi Banten yang saat ini masih bergantung kepada pemerintah pusat. “Saya sangat sependapat dengan pernyataan ibu bupati yang menolak pembentukan Provinsi Pantura. Apalagi suaminya (H Anwar Affandi SIP MSi, red) berasal dari Kabupaten Sukabumi, yang notabene masuk Jabar,” tuturnya diiyakan Ketua Pemuda Muhamadiyah Drs Dadan Fauzan.
Ditambahkan Dadan, isu pembentukan provinsi baru tidak tepat, karena di saat eskalasi politik menjelang Pilgub tengah meningkat. Terlepas memiliki laut atau tidak Kabupaten Majalengka, kata Dadan, akhirnya dirinya tidak setuju untuk membentuk provinsi baru, karena melihat hanya untuk kepentingan elit politik semata. “Justru kami khawatir dengan dibentuknya provinsi baru yang akan menjadi korban adalah masyarakat sendiri,” ungkap Dadan diiyakan mantan Ketua Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Yugi Gunawan dan mantan Ketua BEM UNMA Wawan Suhendi Ssos.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Studi Demokrasi (Elsid) Dedi Barnadi menuturkan, posisi Kabupaten Majalengka diwilayah III Cirebon baik secara geografis maupun budaya berada ditengah, sehingga tidak setuju jika kedepan dibentuk Provinsi Cirebon. Apalagi, kata Dedi, dengan serta merta Majalengka masuk menjadi bagiannya tanpa ada referendum atau pernyataan pendapat rakyat. Provinsi Pantura atau Cirebon, harus terbentuk atas dasar kajian yang komperhensif tidak atas emosional.
Apakah dengan terbentuknya provinsi baru akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan atau tidak. Dikatakan, wacana ini jangan hanya menjadi wacana elit wilayah III Cirebon terkait dengan Pilgub Jabar. Apalagi terkesan hal ini digulirkan untuk meminimalisir dukungan terhadap calon incumbent yang divonis tidak memperhatikan aspirasi wilayah III Cirebon, karena tidak ada keterwakilan pemimpinnya menjadi Cagub ataupun cawagub.
Sejatinya wacana ini jangan terlalu terus di munculkan karena akan menjadi kontraproduktif untuk momen pilgub Jabar. Apalagi, lanjut dia, menurut pernyataan Mendagri bahwa sampai 2009 tidak ada pembentukan provinsi baru. “Rakyat tidak peduli dengan ada atau tidak adanya Provinsi Cirebon. Yang paling penting kesejahteraan rakyat meningkat,” tandas Dedi. (ara)

GUNAKAN DANA RAKYAT (APBD) UNTUK KEPENTINGAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

 

(Penyimpanan Dana Rakyat di SBI merupakan

pengkhianatan terhadap rakyat)

 

 

Pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono dihadapan sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tanggal 23 Agustus lalu mengungkapkan keprihatinan atas masih banyaknya daerah yang belum memakai anggarannya untuk pembangunan yang tercermin dari total simpanan pemda di perbankan yang mencapai jumlah sekitar Rp. 96 triliun, dan simpanan Bank Pembangunan Daerah dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hingga pertengahan Agustus 2007 yang mencapai sekitar Rp. 50 triliun. Hal itu telah menunjukan terjadinya kelambanan proses pembangunan di daerah-daerah yang tentu berdampak luas terhadap kehidupan social ekonomi masyarakat secara umum yang dalam kondisi sekarang sangat memerlukan sentuhan-sentuhan kebijakan yang secara langsung bisa dirasakan manpaatnya oleh rakyat.

 

Khusus dalam kontek Jawa Barat, disimpannya dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh Bank Jabar pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar Rp. 3,1 triliun sungguh memperhatinkan dan sangat disayangkan ditengah jutaan rakyat Jawa Barat yang dililit kemiskinan, daerah pedesaan yang tertinggal, infrastruktur jalan yang rusak, biaya sekolah yang mahal, biaya kesehatan yang tinggi, pengangguran dsb. Dana sebesar itu seharusnya dioptimalkan untuk membiayai program-program pembangunan yang sejatinya merupakan hak rakyat untuk dapat menikmatinya, bukan malah dana tersebut terparkir di SBI. Dengan alasan apapun terparkirnya jumlah dana sebesar itu sungguh tidak efektif, produktif dan aplikatif bagi akselerasi pembangunan Jawa Barat.

 

Terparkirnya dana APBD Jawa Barat pada SBI oleh Bank Jawa Barat sebagai Bank yang memang ditunjuk untuk mengelola kas daerah, dalam pandangan kami bukan sebatas soal hak teknis perbankan semata (simpanan dana pemda aman dsb) akan tetapi pada persoalan komitmen pemerintah dalam menggunakan dana rakyat bagi pemenuhan hak-hak dasar rakyat dalam wujud pembangunan dan penuntasan kompleksitas problem masyarakat Jawa Barat yang memerlukan penanganan kebijakan yang serius, cepat dan tepat sasaran.

 

Berdasarkan hal tersebut, maka kami dari Barisan Oposisi Rakyat menyatakan sikap sebagai berikut :

 

  1. Menuntut Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memaksimalkan dana Rakyat (APBD) untuk membiayai program pembangunan melalui akselerasi pembangunan yang populis dan langsung dirasakan oleh rakyat bukan menyimpannya di SBI;

  2. Mendesak DPRD Provinsi Jawa Barat untuk mengawasi dana pemda secara ketat dan mendorong agar dana rakyat (APBD Provinsi Jawa Barat) agar dapat dialokasikan untuk pembangunan yang lebih menyentuh kebutuhan rakyat kecil;

  3. Mendesak Bank Jawa Barat agar mengelola dananya untuk memperkuat kredit produktif pada UKM agar dapat menggerakan sektor riil ketimbang disimpan di SBI;

 

Dana APBD merupakan dana rakyat yang seharusnya disalurkan kembali kepada rakyat, bukan dipergunakan untuk kepentingan pribadi/golongan.

 

Bandung, 29 Agustus 2007

BARISAN OPOSISI RAKYAT

Sekertaris Jenderal,

 

ttd & cap

 

DENI KUSDINAR

Oleh BUDIANA IRMAWAN

Akhir-akhir ini wacana media massa menghiasi respons publik terhadap gerakan politik yang diinisiasi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Sarikat Indonesia, dan Partai Damai Sejahtera yang menamakan diri Aliansi Papandayan.

Ada yang berdecak kagum, tersentak kaget, bahkan ada yang mencibir dan menganggap dagelan politik apa lagi ketika Aliansi Papandayan mendeklarasikan usulan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat kepada Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada pemilihan Gubernur Jawa Barat 2008. Deklarasi Aliansi Papandayan dilakukan pada Januari 2007 di Hotel Papandayan, dilanjutkan dengan kunjungan ke DPD PDI-P Jawa Barat dan DPD Partai Golkar Jawa Barat.

Pascareformasi 1998 telah banyak dihasilkan perubahan berarti, termasuk di dalamnya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada sesuai dengan undang-undang saat ini dilakukan secara langsung oleh rakyat walaupun pencalonannya melalui partai politik yang mempunyai kursi signifikan di legislatif (DPRD).

Hal ini sesungguhnya merupakan tuntutan realitas perkembangan politik dari aras sistem otoritarian menuju sistem demokratis. Robert A Dahl (1983) menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang memberi peluang kepada rakyat sampai tingkat bawah untuk melibatkan diri dalam pembuatan keputusan politik. Dengan pilkada langsung ini rakyat dapat menentukan pilihan politik tanpa diwakili sesuai dengan penilaiannya, apakah si calon kepala daerah mampu mengartikulasi dan mengagregasi kepentingannya atau tidak.

Oleh karena itu, Aliansi Papandayan memandang pemilihan Gubernur Jawa Barat 2008 tidak hanya menjadi momentum politik elite atau oligarki partai, tetapi juga harus menjadi momentum bersama masyarakat Jawa Barat dalam menentukan pemimpinnya di masa mendatang. Berdasarkan pemahaman ini, gerakan politik Aliansi Papandayan mempunyai makna sebagai bentuk pendidikan politik rakyat dan penguatan civil society sehingga ada ruang diskursus intensif dan berkualitas.

Walaupun mekanisme pencalonan oleh partai yang memiliki kursi signifikan atau 15 persen dari 100 anggota DPRD I Jawa Barat, subtansinya partai kecil bahkan masyarakat nonpartisan (independen) semestinya berhak juga berpartisipasi aktif dalam proses pemilihan gubernur ini.

Dua bulan

Jika melihat dari perspektif ketentuan jadwal Komisi Pemilihan Umum, proses efektif kampanye calon tidak lebih dari dua bulan. Dapat dibayangkan, mungkinkah sekitar 20 juta pemilih di Jawa Barat dapat menilai calon-calon tersebut dengan utuh? Jawabannya, jelas tidak. Tidak mungkin masyarakat yang ada di pelosok mengetahui visi dan program-program yang akan ditawarkan, apalagi soal rekam jejak si calon itu sampai detail.

Alih-alih, masyarakat hanya sekadar dimobilisasi saat pencoblosan, mungkin dengan kompensasi ala kadarnya dan janji-janji yang secara politik atau hukum susah dipertanggungjawabkan. Pada titik ini sesungguhnya kecurigaan akan tirani oligarki partai mempunyai dasar.

Cukup beralasan Aliansi Papandayan menyampaikan usulan calon sejak dini jika wacana ini kemudian menjadi perbincangan serius sampai tingkat masyarakat paling bawah. Masyarakat akhirnya memiliki waktu cukup panjang untuk menilai sejauh mana usulan Aliansi Papandayan realistis atau tidak.

Tentu pertimbangannya bukan kepentingan politik pragmatis kelompok atau orang perorang (political interest), melainkan didasari kredibilitas dan kapabilitas calon-calon tersebut untuk dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan kemajuan Provinsi Jawa Barat. Apalagi, tantangan ke depan sesuai dengan visi Jawa Barat yang sudah dicanangkan cukup berat.

Jadi, anggapan bahwa deklarasi Aliansi Papandayan terlalu dini sesungguhnya tidak beralasan dan mendasar. Aliansi Papandayan bukan cerminan dari sikap reaksioner, melainkan kesadaran akan tanggung jawab politik dan demokrasi secara substantif. Pergulatan pemikiran di antara partai politik yang tergabung terjadi melalui perdebatan diskusi panjang dan bukanlah sesuatu yang instan, apalagi direkayasa. PKPI, PSI, dan PDS sadar tidak mempunyai kuasa untuk mencalonkan. Namun, dalam konteks substansi demokrasi, sebagai bagian dari kelompok masyarakat mereka mempunyai hak sama seperti halnya partai besar. Yang membedakan, sesuai ketentuan perundang-undangan saat ini, tentunya adalah prosedur akan hak mencalonkan secara langsung.

Pengalaman dan teruji

Aliansi Papandayan mencoba mencermati dan mengkaji realitas yang berkembang di masyarakat sehingga sampai pada kesepakatan untuk mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada pemilihan gubernur 2008. Aliansi Papandayan memandang juga bahwa latar belakang karier birokrat dan politisi senior yang mempunyai pengalaman dan teruji di lapangan diperlukan sehingga layak disandingkan untuk memimpin Jawa Barat ke depan.

Aliansi Papandayan memahami bahwa usulan ini bukan sesuatu yang final atau harga mati. Biarkan publik dan partai-partai politik yang berhak mencalonkan mencermati lebih lanjut. Kembali pada cita-cita reformasi dalam kerangka konsolidasi demokrasi, disyaratkan pula bahwa demokrasi substantif bukan sekadar demokrasi prosedural. Ruang publik pun mendapatkan tempat penting dalam setiap keputusan politik.

Ruang publik bisa mencerminkan kehendak dan kepentingan masyarakat luas. Jurgen Habermas mengatakan ruang publik politik sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif.

Akhirnya, semoga tulisan pendek ini dapat menjawab respons publik yang merasa kaget atau bertanya-tanya, permainan politik apa yang sedang dijalankan Aliansi Papandayan. Yakinlah Aliansi Papandayan hanya ingin memanfaatkan momentum pemilihan gubernur ini sebagai pembelajaran publik dan menjadikan politik sesuatu yang bernilai, bukan seperti penilaian selama ini bahwa politik itu kotor, dagang sapi, atau sesuatu yang berkonotasi negatif. Penulis masih percaya dengan ungkapan Aristoteles, “Politics is the science of the good for man, to be happiness”.

BUDIANA IRMAWAN Ketua Jaringan Kerja Solidaritas Kerakyatan (Jakasoka)

Dimuat KOMPAS 1 Mei 2007

ImageBandung, Indowarta

Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (Pena 98) mengutuk keras  tindakan aparat kepolisian yang melakukan kekerasaan dalam menangani aksi unjuk rasa rakyat yang menolak konversi minyak tanah menjadi gas.  Aksi yang berakhir rusuh terjadi di Depo III Plumpang, Jakarta Utara, Senin (6/8/07). Saat itu ribuan massa rakyat yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah menolak konversi ke gas karena dinilai memberatkan rakyat miskin.

Koordinator Pena 98 Jawa Barat, Fernandus Semaun meminta aparat kepolisian menghentikan setiap aksi kekerasan dan mengusut tuntas kasus tersebut. “Aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat jelas bertentangan dengan kemanusiaan dan hukum yang berlaku di negeri ini,” tegas Fernandus dalam rilis yang diterima Indowarta.
Dia melanjutkan, perilaku seperti ini tidak boleh dibiarkan karena telah menginjak-injak harga diri dan kemanusiaan warga negara Indonesia. Aparat kepolisian yang digaji oleh rakyat untuk melindungi dan melayani rakyat justru mengkhianati kewajibannya.
“Mereka hanya menyampaikan pendapat di muka umum bahwa mereka menolak konversi minyak tanah ke gas elpiji bukan mencuri,” tandasnya.
Pena 98 juga mendukung aksi rakyat yang menolak konversi minyak tanah menjadi gas. Menurut Pena 98, Pemerintah Pusat kurang peka melihat kondisi Rakyat di Republik ini yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Walaupun pemerintah sudah melaksanakan pemberi tabung gas secara gratis, tapi program tersebut tidak bisa menyeluruh dan menjangkau rakyat miskin di pelosok-pelosok desa.
Menghilangnya minyak tanah di pasaran dan kenaikan yang cukup tinggi sekitar Rp 6.000-an, karena tak ada lagi subsidi jelas sangat menyengsarakan rakyat miskin yang tidak bisa membeli bahan bakar gas.
“Rakyat miskin dipaksa untuk membeli bahan bakar gas yang dirasa memberatkan mereka. Bisakah rakyat miskin, apalagi yang di pelosok desa dan pegunungan membeli bahan bakar gas yang pembeliannya dipaksa sebanyak 3 kg atau satu tabung seharga Rp. 15.000,- sekaligus .. ? Tidak,..!”
Bagi rakyat miskin, membeli bahan bakar gas 3 Kg atau satu tabung seharga Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan rakyat miskin tiap harinya hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang atau tidak bisa makan. Berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun.
“Seharusnya Rakyat miskin tetap dibiarkan memilih apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-duanya disubsidi,” pungkas Fernandus Semaun. (dedi barnadi/w. ramdani)

Tindak Lanjuti Laporan BPK

Agustus 24, 2007

MAJALENGKA(SINDO) – Kalangan LSM dan mahasiswa di Majalengka meminta penegak hukum menindaklanjuti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) TA 2006.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen Majalengka (YLBKM) Dedi Barnadi mengatakan, hasil audit BPK merupakan lembaran negara yang semestinya diketahui masyarakat. Dalam laporan audit BPK itu ditemukan delapan poin yang dinilai bermasalah,terdiri atas tiga resume atas kepatuhan dan lima poin pada pengendalian intern.

Tiga poin, yakni pajak penghasilan pasal 21 atas penerimaan dari pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cideres dan Majalengka kurang dipungut sebesar Rp273,4 juta, biaya konsultasi, koordinasi, dan konsolidasi di Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik sebesar Rp23,8 juta, pekerjaan pembuatan kirmir sebesar Rp11,4 juta dan tanggul sebesar Rp124,9 juta.

Ditambah dengan lima poin pada pengendalian intern, yakni penerimaan biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kab Majalengka tahun anggaran 2006 diakui sebagai pendapatan asli daerah, pencairan anggaran kegiatan rehabilitasi Sekolah Dasar/Madrasah Diniyah, pemberian bantuan dana secara tunai sebesar Rp751,45 juta kepada pejabat instansi vertikal di Kab Majalengka, dan realisasi dana peningkatan pelayanan di enam satuan kerja sebesar Rp214 juta, realisasi belanja bantuan keuangan di Sekretariat Daerah kepada partai politik sebesar Rp104,5 juta.

”Kami belum mendapatkan kabar bahwa hasil audit BPK ini ditindaklanjuti penegak hukum. Ini kan rekomendasi bagi Pemerintah Kab Majalengka yang semestinya ditindaklanjuti oleh penegak hukum,” ujarnya. Desakan ini pun diperkuat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Majalengka. Presiden BEM Unma Ade Barjhi mengatakan, para penegak hukum di Kab Majalengka kurang responsif.

Artinya, apabila penegak hukum tidak responsif terkait dengan persoalan itu, maka segala persoalan menjadi selesai. ”Bagi kami, hasil audit BPK itu perlu diketahui masyarakat Majalengka.Artinya,karena kegiatan tersebut dianggarkan melalui APBD, maka harus dipertanggungjawabkan,” jelas dia.

Sementara itu, beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kab Majalengka mengaku sedang melaksanakan anjuran BPK.Di antaranya, Sekretaris Daerah Kab Majalengka Suhardja menyatakan seluruh rekomendasi BPK sedang diberlangsungkan.

Sedangkan Kepala Kejaksaan Negeri Kab Majalengka Tonni Sinai mengatakan, laporan hasil audit BPK tidak bisa dinilai benar seluruhnya. ”Kami sudah mendapatkan laporan hasil audit. Namun, tidak seluruh hasil audit BPK harus ditindak lanjuti.Kadang ada benarnya dan kadang pula salah,” kata dia. (taofik hidayat)

Mengutuk Aksi Kekerasan Aparat  dan Menolak Konversi Minyak Tanah ke Gas Elpiji.

Tindakan kekerasan aparat kembali terjadi  pada  Unjuk rasa Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah di Depo III Plumpang, Jakarta Utara, Senin (6/8/07) yang menolak rencana konversi minyak tanah ke gas epliji, yang dirasa sangat memberatkan rakyat miskin. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat jelas bertentangan dengan kemanusiaan dan hukum yang berlaku di negeri ini. Perilaku seperti ini tidak boleh dibiarkan karena telah menginjak-injak harga diri dan kemanusiaan warga negara Indonesia.  Aparat kepolisian yang digaji oleh rakyat untuk melindungi dan melayani rakyat justru mengkhianati kewajibannya. Mereka hanya menyampaikan pendapat di muka umum bahwa mereka menolak konversi minyak tanah ke gas elpiji bukan mencuri.

Pemerintah Pusat kurang peka melihat kondisi Rakyat di Republik ini yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Walaupun pemerintah sudah melaksanakan pemberi tabung gas secara gratis, tapi program tersebut tidak bisa menyeluruh dan menjangkau rakyat miskin di pelosok-pelosok desa. Menghilangnya minyak tanah di pasaran dan kenaikan yang cukup tinggi sekitar Rp 6.000-an, karena tak ada lagi subsidi jelas sangat menyengsarakan rakyat miskin yang tidak bisa membeli bahan bakar gas. Rakyat miskin dipaksa untuk membeli bahan bakar gas yang dirasa memberatkan mereka. Bisakah rakyat miskin, apalagi yang di pelosok desa dan pegunungan membeli bahan bakar gas yang pembeliannya dipaksa sebanyak 3 kg atau satu tabung seharga Rp. 15.000,- sekaligus .. ? Tidak,..! . Bagi rakyat miskin, membeli bahan bakar gas 3 Kg atau satu tabung seharga Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan rakyat miskin tiap harinya hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang atau tidak bisa makan. Berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun. Seharusnya Rakyat miskin tetap dibiarkan memilih apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-duanya disubsidi.

Berdasarkan hal tersebut maka, kami dari Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) menyatakan sikap :

1.  Mengutuk kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dari Satuan Brimob Polda Metro Jaya pada  Unjuk rasa Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah;

2.  Menuntut Aparat Kepolisian untuk menghentikan setiap tindakan  kekerasan terhadap rakyat dan segera mengusut aksi kekerasan tersebut ;

3.  Menolak konversi minyak tanah ke gas elpiji karena sangat memberatkan rakyat  miskin.

Bandung, 7 Agustus 2007

Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) Jawa Barat

Koordinator,

ttd

Fernandus Semaun

Pemkab Dinilai Kurang Hati-hati Memberikan Perizinan

Majalengka, Kompas – Sengketa antara pedagang pasar tradisional dan modern muncul di Majalengka. Ratusan pedagang Pasar Kadipaten, Kabupaten Majalengka, Selasa (5/9), berunjuk rasa di depan kantor bupati dan gedung DPRD. Mereka menolak operasional toko serba ada Surya dan pasar modern yang lokasinya hanya beberapa ratus meter dari pasar tradisional.

Dalam unjuk rasa itu, para pedagang yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Majalengka didampingi aktivis dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Majalengka, Lingkar Studi Demokrasi (Elsid), dan Barisan Oposisi Rakyat (BOR).

Aksi mereka dimulai sekitar pukul 10.00 di halaman kantor Bupati Majalengka. Dalam orasinya, para pedagang dan aktivis menyatakan, operasional toserba dan pasar modern akan mengancam kelangsungan hidup mereka. Sebab, konsumen pasti lebih tertarik berbelanja ke toserba dan pasar modern yang fasilitasnya lebih bagus dan memberikan kenyamanan. Dalam orasinya, Sekretaris APPSI Dedi Banarji mengatakan, kedekatan jarak antara pasar tradisional dan pasar modern beserta toserba merupakan persaingan yang tidak seimbang.

“Selama ini Presiden SBY selalu bilang supaya pasar tradisional jangan bersaing bebas dengan pasar besar, tetapi pemerintah Majalengka justru melakukan hal sebaliknya,” ujar Dedi berapi-api.

Para pengunjuk rasa juga mempertanyakan izin operasional toserba dan pasar modern. Sebab, pada pertengahan September ini, akan segera dilakukan pembukaan toserba. Dalam aksi di depan kantor bupati, para pedagang bermaksud memberikan uang mainan sebagai simbol sumbangan pendapatan daerah dari pasar tradisional kepada Bupati Tutty Hayati Anwar. Namun, pagar dijaga ketat oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Kurang hati-hati

Para pengunjuk rasa melanjutkan aksinya ke gedung DPRD. Di sana, sejak pagi sudah berkumpul ratusan massa dari organisasi massa pemuda yang mendukung pembangunan toserba dan pasar modern. Massa ormas ini berbaris rapat di halaman gedung DPRD, dipimpin Ketua Majelis Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Majalengka Nazar Hidayat. Sempat dikhawatirkan terjadi bentrok antarmassa yang berbeda kepentingan ini. Ratusan petugas keamanan sudah disiagakan untuk mengantisipasi terjadinya keributan. Namun, hingga demo selesai, keadaan tetap terkendali.

Pertemuan antara perwakilan pedagang, anggota DPRD, pihak pengembang, dan ormas pemuda berlangsung alot dan belum menemukan titik temu. Usai pertemuan, Wakil Ketua DPRD Majalengka Sutrisno mengatakan, ada beberapa poin penting dalam pertemuan tersebut.

Beberapa poin itu antara lain PT Cemerlang Raya selaku pengembang agar segera menyelesaikan persyaratan operasional toserba dan pasar modern. Selama izin belum lengkap, tidak diperbolehkan melakukan aktivitas apa pun, baik fisik maupun perdagangan, termasuk pembukaan. DPRD juga minta agar pihak eksekutif bersikap proaktif dalam memfasilitasi pihak yang terkait guna terbangunnya kemitraan antara pedagang di dua pasar. DPRD menilai, ketegangan ini mencuat akibat kekuranghati-hatian pemerintah daerah sehingga Sutrisno meminta agar kasus ini dijadikan pelajaran. “Ke depan kami minta pemda lebih hati-hati lagi dalam menyikapi berbagai macam perizinan terkait dengan investasi di Majalengka,” kata Sutrisno.(LSD)