ImageBandung, Indowarta

Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (Pena 98) mengutuk keras  tindakan aparat kepolisian yang melakukan kekerasaan dalam menangani aksi unjuk rasa rakyat yang menolak konversi minyak tanah menjadi gas.  Aksi yang berakhir rusuh terjadi di Depo III Plumpang, Jakarta Utara, Senin (6/8/07). Saat itu ribuan massa rakyat yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah menolak konversi ke gas karena dinilai memberatkan rakyat miskin.

Koordinator Pena 98 Jawa Barat, Fernandus Semaun meminta aparat kepolisian menghentikan setiap aksi kekerasan dan mengusut tuntas kasus tersebut. “Aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat jelas bertentangan dengan kemanusiaan dan hukum yang berlaku di negeri ini,” tegas Fernandus dalam rilis yang diterima Indowarta.
Dia melanjutkan, perilaku seperti ini tidak boleh dibiarkan karena telah menginjak-injak harga diri dan kemanusiaan warga negara Indonesia. Aparat kepolisian yang digaji oleh rakyat untuk melindungi dan melayani rakyat justru mengkhianati kewajibannya.
“Mereka hanya menyampaikan pendapat di muka umum bahwa mereka menolak konversi minyak tanah ke gas elpiji bukan mencuri,” tandasnya.
Pena 98 juga mendukung aksi rakyat yang menolak konversi minyak tanah menjadi gas. Menurut Pena 98, Pemerintah Pusat kurang peka melihat kondisi Rakyat di Republik ini yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Walaupun pemerintah sudah melaksanakan pemberi tabung gas secara gratis, tapi program tersebut tidak bisa menyeluruh dan menjangkau rakyat miskin di pelosok-pelosok desa.
Menghilangnya minyak tanah di pasaran dan kenaikan yang cukup tinggi sekitar Rp 6.000-an, karena tak ada lagi subsidi jelas sangat menyengsarakan rakyat miskin yang tidak bisa membeli bahan bakar gas.
“Rakyat miskin dipaksa untuk membeli bahan bakar gas yang dirasa memberatkan mereka. Bisakah rakyat miskin, apalagi yang di pelosok desa dan pegunungan membeli bahan bakar gas yang pembeliannya dipaksa sebanyak 3 kg atau satu tabung seharga Rp. 15.000,- sekaligus .. ? Tidak,..!”
Bagi rakyat miskin, membeli bahan bakar gas 3 Kg atau satu tabung seharga Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan rakyat miskin tiap harinya hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang atau tidak bisa makan. Berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun.
“Seharusnya Rakyat miskin tetap dibiarkan memilih apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-duanya disubsidi,” pungkas Fernandus Semaun. (dedi barnadi/w. ramdani)

Mengutuk Aksi Kekerasan Aparat  dan Menolak Konversi Minyak Tanah ke Gas Elpiji.

Tindakan kekerasan aparat kembali terjadi  pada  Unjuk rasa Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah di Depo III Plumpang, Jakarta Utara, Senin (6/8/07) yang menolak rencana konversi minyak tanah ke gas epliji, yang dirasa sangat memberatkan rakyat miskin. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat jelas bertentangan dengan kemanusiaan dan hukum yang berlaku di negeri ini. Perilaku seperti ini tidak boleh dibiarkan karena telah menginjak-injak harga diri dan kemanusiaan warga negara Indonesia.  Aparat kepolisian yang digaji oleh rakyat untuk melindungi dan melayani rakyat justru mengkhianati kewajibannya. Mereka hanya menyampaikan pendapat di muka umum bahwa mereka menolak konversi minyak tanah ke gas elpiji bukan mencuri.

Pemerintah Pusat kurang peka melihat kondisi Rakyat di Republik ini yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Walaupun pemerintah sudah melaksanakan pemberi tabung gas secara gratis, tapi program tersebut tidak bisa menyeluruh dan menjangkau rakyat miskin di pelosok-pelosok desa. Menghilangnya minyak tanah di pasaran dan kenaikan yang cukup tinggi sekitar Rp 6.000-an, karena tak ada lagi subsidi jelas sangat menyengsarakan rakyat miskin yang tidak bisa membeli bahan bakar gas. Rakyat miskin dipaksa untuk membeli bahan bakar gas yang dirasa memberatkan mereka. Bisakah rakyat miskin, apalagi yang di pelosok desa dan pegunungan membeli bahan bakar gas yang pembeliannya dipaksa sebanyak 3 kg atau satu tabung seharga Rp. 15.000,- sekaligus .. ? Tidak,..! . Bagi rakyat miskin, membeli bahan bakar gas 3 Kg atau satu tabung seharga Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan rakyat miskin tiap harinya hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang atau tidak bisa makan. Berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun. Seharusnya Rakyat miskin tetap dibiarkan memilih apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-duanya disubsidi.

Berdasarkan hal tersebut maka, kami dari Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) menyatakan sikap :

1.  Mengutuk kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dari Satuan Brimob Polda Metro Jaya pada  Unjuk rasa Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah;

2.  Menuntut Aparat Kepolisian untuk menghentikan setiap tindakan  kekerasan terhadap rakyat dan segera mengusut aksi kekerasan tersebut ;

3.  Menolak konversi minyak tanah ke gas elpiji karena sangat memberatkan rakyat  miskin.

Bandung, 7 Agustus 2007

Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) Jawa Barat

Koordinator,

ttd

Fernandus Semaun